Opini Public. Media Dinamika Global. Id. -DPR resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di rapat paripurna ke-11. Dalihnya adalah pembaruan hukum pidana, mengingat UU tersebut sudah berumur 50 tahun sejak pertama kali dibahas di era Presiden Suharto. UU ini juga berulang-kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) meski kerap berujung mangkrak.
“RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi, terbuka terhadap seluruh ketentuan pidana dan menjawab seluruh perkembangan yang ada di masyarakat saat ini,” ujar Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, dilansir dari CNBC Indonesia.
Ucapan Bambang sempat disambut interupsi oleh anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera, yang bermaksud memberikan catatan. Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad buru-buru memotong, "Kami akan menanyakan, apakah RUU KUHP dapat disetujui menjadi Undang-Undang?"
"Setuju," koor serempak anggota DPR.
DPR sendiri mengakui, UU itu takkan bisa memuaskan semua pihak. Tapi mereka bilang, revisi UU KUHP telah cukup mengakomodasi masukan dari berbagai elemen masyarakat. Ini termasuk Lembaga Bantuan Hukum, Dewan Pers, akademisi, juga aktivis lainnya. Karena itulah, kata DPR, UU tersebut perlu dirayakan sebagai upaya menegakkan supremasi hukum dan kebermanfaatan.
RKUHP merupakan satu dari serentetan produk hukum bermasalah. Proses pembentukan aturan ini sama dengan aturan bermasalah lainnya: Tidak partisipatif dan tidak transparan. Pengesahan RKUHP ini secara nyata telah membawa Indonesia menjadi negara anti-demokrasi dan melanggengkan praktik korupsi.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP sendiri telah berulang kali menggelar aksi penolakan. Kemarin, (5/12), mereka juga melakukan aksi tabur bunga di depan gedung Nusantara. Alasan terbesar penolakan Aliansi adalah karena RKUHP itu dinilai memuat sejumlah pasal karet yang berpotensi merugikan masyarakat. Bahkan, bisa membuat banyak kelompok rentan, termasuk perempuan dipenjara karenanya.
Berdasarkan pemantauan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal-pasal yang bermasalah di antaranya; rawan membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat.
Dalam rilis resmi mereka, ada 12 alasan kenapa publik harus ramai-ramai menolak UU KUHP:
Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Selain itu, keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: Polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.
Pasal terkait pidana mati.
Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, banyak kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi. Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.
Pasal menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah. Pasalnya, tidak ada penjelasan esensial terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era Orde Baru.
Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Pasal ini berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara. Ini mengingat tidak ada penjelasan komprehensive terkait kata “penghinaan”.
Contempt of court.
Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum”, sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan, hakim berpihak kepada penguasa. Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.
Kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan.
Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat.
Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE.
Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat (1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE, seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE.
Salah satu contohnya UU KUHP Mengancam Kemerdekaan Pers dan Demokrasi
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disetujui bersama oleh DPR RI dan Pemerintah untuk disahkan menjadi UU KUHP dalam sidang paripurna DPR RI, Selasa, 6 Desember 2022 di Jakarta. Dewan Pers menyayangkan keputusan itu diambil dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers. Mengingat masih terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan. Sejumlah pasal dalam UU KUHP tersebut sungguh mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman. Pers sebagai pilar demokrasi yang bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang bermakna akan lumpuh karena berhadapan dengan ancaman kriminalisasi oleh pasal-pasal UU KUHP.
Dalam demokrasi, kemerdekaan pers harus dijaga, salah satunya dengan memastikan tidak adanya kriminalisasi terhadap wartawan. Perlindungan itu dibutuhkan agar wartawan dapat bebas menjalankan tugasnya dalam mengawasi (social control), melakukan kritik, koreksi, dan memberikan saran-saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Kemerdekaan pers terbelenggu karena UU KUHP itu dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik.
Dewan Pers sebagai lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan. Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi. Namun masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR tidak memperoleh feedback. Padahal,
Dewan Pers juga menyampaikan saran agar dilakukan simulasi kasus atas norma yang akan dirumuskan.“Kami menilai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam RUU KUHP yang baru disetujui oleh Pemerintah dan DPR untuk disahkan menjadi UU KUHP itu tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” dan menambahkan, ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP, mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal unsur penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers. Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia hakiki.
Dewan Pers mencatat pasal-pasal UU KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers, kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi, sebagai berikut:
1. Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
2. Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
3. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
4. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
5. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
6. Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
7. Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
8. Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.
9. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.
10.Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.
11.Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan
Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya. Orang syang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana gara-gara frasa ini.
Larangan unjuk rasa.
Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum”. Sebab, frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa memidana masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa untuk menagih haknya. Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah. �
Negara cuci tangan pada pelanggaran HAM berat.
Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini. Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan, segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili.
Selain itu, masa kadaluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat. Padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu singkat. Apalagi para pelakunya merupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.
Memidana korban kekerasan seksual.
Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.
Meringankan ancaman bagi koruptor.
Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor. Padahal, tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.
Korporasi sulit dijerat.
Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggung jawab sebagai entitas. Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.
Apakah Kita bisa Menggugat UU KUHP?
UU KUHP baru akan berlaku efektif tiga tahun berselang. Selama tiga tahun ke depan, pemerintah sedianya bakal aktif melakukan sosialisasi kepada penegak hukum, institusi pendidikan, juga masyarakat umum.
Jadi jika masih banyak dijumpai aksi penolakan, dipersilakan bagi rakyat yang tak puas untuk mengambil jalur hukum.
Tidak perlu demo. Detil-detilnya bisa di diskusikan per pasal, meski secara umum sudah terlebih dahulu diskusikan. Sebagai warga masyarakat, kita memang berhak menggugat produk regulasi yang bermasalah ke Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan terkait mekanisme judicial review (uji materi) tersebut. Adapun yang menggugatnya boleh perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara.
Dalam sejarahnya, beberapa produk UU memang pernah diuji materikan kepada Mahkamah Konstitusi. Di antaranya UU Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Pemerintah Daerah, Pemilihan Umum, UU MD3, UU Ketenagakerjaan, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Advokat. Yang terbaru adalah UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Narkotika, terutama terkait legalisasi ganja medis.
Namun, menurut Citra Referendum, langkah hukum yang di lakukan uji materi ini tak menjadi prioritas Aliansi Nasional Reformasi KUHP sejauh ini.
"Ini belum jadi pilihan strategis karena MK sudah dikooptasi. Pertama UU MK sudah direvisi. Kedua, ada bukti UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yang mana seharusnya inkonstitusional saja.
Sebagai gantinya, sebenarnya sekarang ini masyarakat lebih difokuskan untuk melakukan aksi protes di berbagai wilayah di Indonesia saja. Alih-alih mengajukan uji materi ke MK dalam waktu dekat.
Oleh : Mochamad Yahdi, SH. MH
0 comments