Opini Public. Media Dinamika Global. Id. -Masyarakat mengkritik putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang ‘memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu, dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal hingga 2 tahun 4 bulan 7 hari, yang konsekwensinya Pemilu 2024 ditunda’ sebagai pelanggaran terhadap Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga harus dikoreksi oleh pengadilan di atasnya.
“Putusan PN Jakarta Pusat tersebut bukan hanya tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi terutama juga secara jelas melanggar UUD 1945 dan UU Pemilu. Saya mempertanyakan kompetensi hakim yang memutus perkara tersebut. Wajarnya Komisi Yudisial memeriksa Hakim yang memerintahkan penundaan Pemilu itu,"
Perintah UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 22E ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi, ‘Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.’
“Putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan menunda pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari sejak diucapkannya putusan, tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi,’karena Pemilu yang akan datang baru bisa diselenggarakan pada akhir Juli tahun 2025. Itu jelas melanggar ketentuan UUD bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan amar putusan PN itu, Pemilu tidak bisa diselenggarakan 5 tahun sekali, karena Pemilu terakhir dilaksanakan pada 2019, maka menjadi harga mati bahwa pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 2024, bukan tahun 2025 sebagaimana amar putusan PN itu,” Malapetaka, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putuskan Menunda Pemilu 2024 !! Cukup aneh dan mengironikan.
Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution (pengawal konstitusi) saja tidak berwenang memutuskan suatu perkara apabila menyangkut open legal policy.
Open legal policy adalah kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Pasal 22 E UUD 1945 sangat jelas menegaskan bahwa Pemilu dilakukan 5 (lima) tahun sekali. Tidak bisa di ganggu gugat sampai adanya amandemen UUD yang dilakukan MPR.
Putusan tersebut sangat berbahaya bagi dunia Hukum dan demokrasi, dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai unprofessional conduct (tindakan yang tak professional).
Harusnya Pengadilan menolak Perkara tersebut karena tidak memiliki kewenangan untuk mengadili.
Logika sederhana saja, bagaimana mungkin pranata Perdata yg notabennya hukum privat bisa merubah kebijakan hukum publik.
Apabila hal ini di amini, maka tidak bertutup kemungkinan akan ada putusan - putusan akrobat lainnya, semisal membubarkan Partai Politik yang merupakan kewenangan MK dan sebagainya, dengan ditundanya Pemilu hingga Juli tahun 2025 sebagaimana amar putusan PN, akan menimbulkan pelanggaran ketentuan Konstitusi lainnya terkait masa jabatan Presiden, yang sesuai dengan pasal 7 UUD NRI 1945 akan selesai pada Oktober 2024. Sehingga kalau Pemilu ditunda hingga Juli 2025, akan terjadi kekuasaan Eksekutif (Presiden dan para Menteri) dan Legislatif (DPR, DPD dan MPR) yang tidak memiliki basis legitimasi konstitusional.
“Bila demikian, maka akan terjadi chaos Politik yang membahayakan eksistensi dan kelanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tukasnya.
Masyarakat menilai bahwa PN Jakarta Pusat seharusnya tidak memiliki kewenangan atau kompetensi absolut dalam menangani perkara tersebut. Ia merujuk kepada aturan dalam Pasal 470 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengarahkan sengketa proses pemilu itu diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan di Pengadilan Negeri (peradilan umum).
“Di ketentuan tersebut secara spesifik diatur apabila ada sengketa antara KPU dan Parpol terkait dengan verifikasi partai politik, maka diselesaikan di PTUN. Sangat jelas dan tegas aturannya seperti itu. Jadi pengadilan negeri seharusnya tidak memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut apalagi dengan amar putusan yang membuat gaduh, yang potensial ditunggangi oleh mereka yang masih bermanuver untuk memperpanjang masa jabatan Presiden dengan penundaan Pemilu. Maka wajar bila para Pakar HTN, Mantan Ketua MK, dan aktivis yg terhimpun dalam Perludem tegas semua menolak keputusan Hakim PN Jakarta Pusat itu,”
Pembentuk UU Pemilu menyadari bahwa adanya hal khusus dalam perkara-perkara menyangkut pemilu, sehingga Mahkamah Agung (MA) dapat membentuk Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu di PTUN, sebagaimana diamanatkan Pasal 472. Majelis khusus ini diisi oleh para hakim yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai pemilu.
“Jadi, hakim yang memutuskan perkara terkait Pemilu seperti itu bukan sembarangan hakim. Dia harus yang memiliki pengetahuan hukum yang luas tentang pemilu. Maka kalau para hakim tersebut memiliki pengetahuan yang luas tentang pemilu, mustahil mereka akan membuat putusan yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan UU tentang Pemilu seperti yang terjadi dengan amar putusan menunda pemilu oleh hakim PN Jakarta Pusat itu”.
Apalagi, lanjut Mahkamah Konstitusi (MK) juga baru saja membuat putusan yang sesuai Konstitusi yaitu menolak gugatan para pihak terkait pembatasan masa jabatan Presiden maksimal 2 periode. Maknanya Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa sesuai UUD 1945, Pemilu termasuk Pemilihan Presiden tetap dilaksanakan pada tahun 2024, lima tahun sesudah diadakannya Pemilu yang terakhir tahun 2019, bukan diundur hingga 2025 seperti yang kemudian diputuskan oleh PN Jakarta Pusat.
“Hakim yang menguasai masalah Pemilu tentunya memahami esensi keputusan MK yang bersifat final dan mengikat itu, sehingga tidak malah membuat putusan yang tidak sejalan dengan Konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi,”
Putusan yang membuat gaduh ini mestinya tidak dibuat, karenanya penting segera dikoreksi dan dibatalkan di tingkat banding oleh pengadilan tinggi. Mengapresiasi sikap KPU yang langsung menyatakan banding, itu berarti putusan PN itu belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga tahapan Pemilu tetap harus terus dilaksanakan. Ia juga berharap KPU dapat benar-benar menjadikan peristiwa gugatan ini sebagai koreksi atas celah ketidak profesionalannya, agar tidak terulang lagi pada tahapan Pemilu berikutnya.
“Dan agar KPU benar-benar fight untuk menjaga agar agenda Pemilu tidak terganggu, dan ketentuan Konstitusi tetap ditaati. Dan juga perlu ada perbaikan bagi KPU agar kinerja selanjutnya lebih profesional dan tidak melakukan kesalahan yang berpotensi membuat gaduh dan terhambatnya pelaksanaan Pemilu, juga menghindarkan tidak percayanya Rakyat terhadap Pemilu dan untuk menyelamatkan legitimasi setiap hasil Pemilu,”(MY MDG).
0 comments