Wartawan itu dilahirkan. Butuh proses. Makan waktu. Ibarat buah, masak pohon. Bukan hasil karbitan. Tidak bisa instan. Sarjana sekalipun dan berbekal disiplin ilmu apa pun.
Pekerja intelektual. Itulah aksioma ideal wartawan. Ia tidak boleh berhenti mendidik diri sendiri. Berapa pun usianya, tidak soal. Ia baru berhenti mendidik diri sendiri setelah mendapat “gelar” tertinggi dari Tuhan YME, yaitu almarhum atau almarhumah.
Pengetahuan umum yang luas, mutlak perlu bagi wartawan. Tidak cukup hanya berbekal disiplin Ilmu Publisistik Praktika (baca: Jurnalistik). Apalagi hanya sekadar ikut diklat jurnalistik. Wartawan media massa apa pun. Audio, vidsual, maupun audio visual.
Wartawan juga dituntut mampu memahami keberadaannya di suatu tempat dalam situasi dan kondisi apa pun. Wajib bisa berinteraksi secara baik dengan masyarakat “kasta” apa pun. Berkemampuan memahami apa pun dan siapa pun dengan pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang benar.
Beratkah hal-hal ideal tersebut? Tidak, jika niatnya menjadi “wartawan 24 karat”. Wartawan dalam arti sebenar-benarnya wartawan. Bukan sekadar predikat untuk gagah-gagahan. Bukan pula sekadar status untuk mencari nafkah.
Faktual perihal mutu karya jurnalistik, sangat mencolok. Kasat mata dan parah. Kualitas bahasa jurnalistiknya hancur. Pemahaman tentang kelayakan publikasi, zonk. Daya mampu nenimbang bobot nilai berita, parah. Satu lagi yang sangat riskan, tidak “melek” (memahami) hukum.
Empat kelemahan mencolok tersebut melahirkan dua hal mustahil bagi wartawan yang bersangkutan. Pertama, mustahil ia mampu mengimplementasikan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) wartawan. Konkretnya, melakukan kontrol, kritik dan koreksi secara konstruktif. Tupoksi yang membutuhkan keluasan cakrawala pandang dan kearifan.
Kedua, mustahil ia mampu mengimplementasikan wartawan sebagai penjaga gawang aspirasi publik. Bagaimana bisa penjaga gawang yang baik dalam kontek aspirasi publik, jika bahasa jurnalistiknya boyak ( amburadul). Kaidah singkat, lugas, logis, taat asas kata baku, mudah dicerna dan enak dibaca pun tidak paham.
Mungkin mereka lupa, bahwa bahasa jurnalistik adalah “alutsista” (alat utama sistem persenjataan) wartawan. Lupa, wartawan apa pun medianya berkarya dengan kata-kata. Dirangkai menjadi kalimat. Disusun menjadi paragraf. Disatukan menjadi satu tubuh naskah berita. Karya jurnalistik.
Begitu pula daya mampu menentukan kelayakan publikasi dan pembobotan nilai berita. Sangat menyedihkan. Penjaga gawang aspirasi publik macam apa jika tidak “melek” hukum. Sekadar membedakan makna alat bukti dengan barang bukti pun kelabakan.
“Bahaya Laten”
Sungguh, kini saya kerap merasa malu mengaku sebagai mantan wartawan. Padahal “sekadar” mantan, setelah 30 tahun lebih berkiprah sebagai wartawan sebenarnya, di lapangan.
Ya, rasa malu itu karena saya mencermati semakin menjamurnya wartawan karbitan. Sangat mudah dideteksi. Selain nampak mencolok pada kualitas karya jurnalistiknya, juga mencolok pada pola pikir, pola sikap dan pola tindaknya di lapangan.
Itu semua terjadi karena empat kelemahan tersebut di atas. Kelemahan paling mencolok dan sangat dominan, tidak “melek” hukum. Terutama hukum publik (hukum pidana). Modus operandi 369 KUHP (pemerasan), bukan isapan jempol. Nekat menyerempet 378 (penipuan) plus “partnernya” 372 (penggelapan) juga bukan angin lalu. Kiblatnya pada kepentingannya: uang.
Kesadaran bahwa NKRI tercinta ini negara hukum ( recht staat), bukan negara kekuasaan ( macht staat), serasa nihil. Meski telah sangat jelas, lugas dan tegas diamanatkan di Pasal 1, ayat (3), UUD 1945. Kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan (Pasal 27, ayat 1, UUD 1945) nyaris tidak dipahami secara baik dan benar.
Di berbagai kesempatan saya selalu mengingatkan adik-adik saya, wartawan di lapangan. Intinya, wajib “melek” hukum. Paling tidak, pahami “pondasi” hukum publik (hukum pidana), yaitu UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang KUHAP. Lazim disebut Hukum Acara Pidana.
Jangan sampai wartawan tidak tahu prosedur penangkapan, penyidikan, penahanan, penggeledahan, penyitaan berdasarkan KUHAP. Hanya dengan demikian wartawan bisa menjalankan tupoksinya. Melakukan kontrol, kritik dan koreksi secara konstruktif. Berkemampuan menjaga aspirasi publik.
Tanpa bermaksud “ngompori”, saya beropini bahwa kini marwah (kehormatan, kemuliaan) wartawan ibarat telur jatuh dari ujung tanduk. Bukan ibarat telur di ujung tanduk. Parah.
Solusinya, demi marwah wartawan kini dan nanti, harus ada kesadaran kolektif di jagat jurnalistik. Intinya, meningkatkan kualitas diri sebagai wartawan. Sering dengan itu terus mencermati dan mengantisipasi “gerakan” wartawan karbitan yang berpotensi merusak marwah wartawan.
Itulah “bahaya laten” bagi -sekali lagi- marwah wartawan, kini dan nanti. Sebagai pekerja intelektual, wartawan tentu saja harus menghadapi “bahaya laten” tersebut secara intelek. Bergerak di koridor litigasi, penyelesaian perkara melalui pengadilan.(Morex Bima).
0 comments