Jakarta, Media Dinamika Global.id. - Terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) (4/6/2022) lalu disusul Koalisi Indonesia Raya (KIR) (13/8/2022) menyalakan harapan publik. Bahwa dengan terbentuknya koalisi secara lebih awal, publik tak akan lagi membeli kucing dalam karung. Namun, dalam kenyataannya ternyata tidak sesederhana yang diharapkan itu.
Sebab, alih-alih memenuhi harapan besar publik, koalisi-koalisi itu sekarang tampak gelagapan, terombang-ambing, penuh dengan ketidakpastian dan bahkan ditengarai bakal bubar di tengah jalan. Koalisi-koalisi itu tak lebih dari sekadar "koalisi ujung tanduk", koalisi yang rapuh, yang mudah bubar tatkala sebuah koalisi dianggap tak lagi menguntungkan.
Bahkan, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang beranggotakan Partai NasDem, PKS, dan Partai Demokrat juga tak lepas dari bayang-bayang ketidakpastian itu. Meski harus diakui bahwa eksistensi KPP lebih kuat dibanding KIB dan KIR karena sudah menyepakati Anies Baswedan sebagai bakal capres, namun koalisi yang dijuluki sebagai antitesis dari status quo itu juga masih berpotensi mengalami perpecahan.
Sebab, meski bakal capres yang diajukan adalah non partai, yang artinya relatif netral. Tetapi ketiga partai yang menjadi anggota koalisi semuanya tampak masih belum memiliki alasan yang rasional mengapa mereka bersatu dalam koalisi yang digagas NasDem.
Per detik ini, Partai Demokrat dan PKS memilih bergabung dengan koalisi itu tampak lebih karena ingin mempertahankan identitas oposan mereka semata. Yang artinya, jika ada keuntungan dan prospek politik yang lebih menjanjikan dari sekadar mempertahankan identitas oposannya itu, sangat mungkin PKS dan Demokrat hengkang dari KPP.
Sebab, diakui atau tidak, tidak ada titik temu gagasan antara Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS itu sendiri yang dapat mengikat mereka secara lebih kuat. Selain karena demi mempertahankan identitas oposan, efek ekor jas, dan jatah cawapres. Jika benar gagasan yang mempertemukan mereka adalah ide perubahan, pada faktanya ketiga anggota koalisi itu belum memberi kita kepastian agenda perubahan semacam apa yang akan mereka lakukan.
Praktisnya, pada titik ini, mereka sendiri tampak tidak tahu-menahu dengan ide perubahan yang mereka tawarkan. Bahkan, Partai NasDem sendiri, yang merupakan motor utama KPP, tampak gelagapan mempresentasikan ide perubahan itu sendiri. Karena itu, jika berbicara potensi bubar, rasanya KPP masih tak lepas dari bayang-bayang itu.
Secara pragmatis, pembentukan koalisi semata-mata tak lebih dari sekadar untuk memenuhi presidential threshold agar bisa mengajukan pasangan capres dan cawapres. Tetapi, tren pembentukan koalisi dalam lanskap politik Indonesia tampaknya bukan hanya atas pertimbangan pragmatis itu. Tetapi juga meliputi siapa dapat apa.
Munculnya wacana "koalisi besar", sebuah wadah koalisi yang akan direncanakan menggabungkan KIB dan KIR yang konon telah disetujui Presiden Jokowi adalah bukti bahwa ada pertimbangan pragmatis lain di balik pertimbangan pragmatis ambang batas.
KIB yang beranggotakan Golkar, PAN, dan PPP, dan KIR. yang beranggotakan Gerindra dan PKB—secara kuantitatif sudah memenuhi ambang batas 20 persen yang disyaratkan dalam UU Pemilu. Secara keseluruhan, KIB sudah mengantongi 25,73 atau 148 kursi dan KIR mengantongi 23,66 atau 136 kursi. Jika hanya berbicara ambang batas, jelas KIB dan KIR sudah dapat mengajukan pasangan capres-cawapres.
Namun, sampai detik ini, dua koalisi itu masih tampak goyah dan enggan mengumumkan nama bakal capres-cawapres mereka. Kedua koalisi itu tampak tak memiliki keyakinan politik yang kuat untuk terus melangkah. Meski koalisi yang keduanya bangun sudah memenuhi ambang batas, namun semuanya masih saling tidak percaya. Masing-masing partai masih terus melakukan penjajakan berharap mendapat keuntungan lebih.
Apa sebab, Bukannya jika berbicara ambang batas 20 persen kedua koalisi itu sudah lebih dari cukup? Jawabannya adalah iya. Tetapi, bagi kedua koalisi itu, terpenuhinya ambang batas 20 persen itu bukanlah pertimbangan satu-satunya. Sebab, yang kedua koalisi itu targetkan bukanlah semata-mata memenuhi presidential threshold. Tetapi juga keuntungan lain yang bisa dinikmati di kemudian hari.
Walhasil, kasak-kusuk pembentukan koalisi tak lebih dari sekadar drama tukar tambah kepentingan para elite. Sementara partai politik sebagai pemain utamanya, tampak tak lebih dari sekadar pemburu rente yang memperdagangkan nama dan identitas rakyat dan republik.
Kita menghormati hak setiap partai politik untuk membangun koalisi dengan setiap partai yang ada. Namun begitu, bukan berarti partai politik bebas sebebas-bebasnya membangun koalisi secara tidak bertanggung jawab: membangun dan lalu membubarkannya tatkala dianggap tak lagi menguntungkan secara politik kekuasaan.
Sebab, pertama, jika partai punya hak untuk membangun koalisi dengan partai mana pun, publik juga punya hak untuk mendapat kepastian terkait koalisi apa saja yang terbentuk, siapa capres-cawapresnya, dan ke mana arah politik koalisi itu bila memenangkan konstelasi politik. Kedua, partai politik didirikan bukan untuk berburu keuntungan kekuasaan.
Karena itu, pada konteks ini, penting kiranya bagi setiap partai politik untuk membangun koalisi secara bertanggungjawab. Yakni, sebuah koalisi yang kokoh dan visioner. Yang tidak hanya jadi tempat perjudian para elite. Seperti kata pepatah, publik tak ingin jatuh pada lubang yang sama. Yakni, kembali membeli kucing dalam karung.
0 comments