Diharapkan Kepada Kapolri Untuk Mencopot Kapolres Bima, Dianggap Lalai Dalam Amanah UU


Bima NTB. Media Dinamika Global. Id.-Seperti yang termuat di berbagai media elektronik baik rilisan maupun vidio yang beredar, serta saya saksi mata atas tindakan represifitas oleh Oknum Polri (anggota Polres Kab. Bima) dalam membubarkan dan menangkap masa aksi FPR DS mulai jilid 2 tanggal 24, mei 2023 dan jilid 3 tanggal 31 Mei 2023. 

Pada Jilid 2 tanggal 24 mei 2023 tindakan melawan hukum sangat terlihat yang di lakukan oleh Oknum anggota Polri Kab. Bima yang jauh dari slogan Polri tentang Presisi dan keamanan. Bagaimana tidak salah satu masa aksi FPR DS di cekik dan di lempar oleh salah satu Oknum Polisi di tengah jalan dan melepaskan gas air mata di pemukiman warga sehingga ada salah satu anak kecil yang berdampak pada gas air mata pun apalagi masa aksi FPR DS. 

Apalagi di jilid 3, tindakan melawan hukum ini tak bisa disembunyikan lagi sebab sudah dikonsumsi oleh publik sehingga selayaknya saya juga Sampai lagi di publik. Kisaran 7 orang masa aksi FPR DS yang berdarah, ada kepalanya yang bocor, samping telinga luka robek, tangan yang keseleo dan hal jenis luka lainnya dari tindakan represifitas Oknum Anggota Polres Kab. Bima serta di amankan 26 masa aksi FPR DS pada saat itu.

Berdasarkan kronologi, sebagai saksi mata sekaligus Korlap dalam memimpin gerakan FPR DS menyimpulkan beberapa hal mengenai tindakan sewenang-wenang dan represifitas Kapolres Kab. Bima dan para kroninya :

1. Tindakan represif aparat penegak hukum yang di bawa komando Kapolres Kab. Bima mencederai konstitusi.

Dalam pembubaran dan pengamanan massa aksi yang dilakukan oleh penegak hukum sangat di sayangkan tidak dilakukan secara konstitusional Atau dengan cara melawan hukum berdasarkan UUD 1945 BAB VIII pasal 30 ayat 4 dan UU nomor 02 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Standar Operasional Pengamanan (SOP) Kepolisian.

Polisi punya standar operasional pengamanan (SOP) sebagai langkah strategis dalam kebijakan pengamanan aksi unjuk rasa, sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 2003 Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 4 huruf a dan huruf b tentang pelaksanaan tugas anggota Polri yang wajib memberikan Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan ke masyarakat dan mentaati aturan yang berlaku dan kedinasan yang berlaku.

Prosedural, profesional dan proposional mesti digunakan oleh Kepolisian tidak langsung menggunakan cara kekerasan atau radikal dengan segala instrumennya seperti sembarang menggunakan watercanon, melakukan penembakan gas air mata apalagi tindakan memukul, menginjak, menendang (represif) dan tidak ber manusiawi sampai meneteskan darah terhadap massa aksi FPR DS. Tentunya apa yang di lakukan oleh personil Polri Kab. Bima di bawa komando Kapolres Kab. Bima sudah tidak mengikuti regulasi dan konsitusi yang berlaku. 

2. Kapolres kab. Bima harus di berikan sangsi kode etik atau sangsi kedisiplinan.

Saya menilai tindakan ini mesti di tangani serta diselesaikan dengan secara hukum, Kapolri harus mengadili Kapolres kab. Bima demi menegakkan hukum maka adili Tampa pandang bulu, kasta dan darah biru. Apapun dalilnya tidak boleh di benarkan tindakan represif aparat kepolisian kepada masyarakat. Sanksi kode etik atau mendapatkan hukuman kedisiplinan mesti harus segara di lakukan oleh bapak Kapolri dan harus dilakukan secara terbuka sehingga negeri ini limpa ruang oleh keadilan.

Seperti yang tertuang dan di atur dalam hukum bahwa anggota polri jangankan melalukan tindakan fisik yang berbau kekerasan, membentak saja di larang oleh hukum seperti yang di atur oleh Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2001 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian RI dalam Pasal 3 Ayat 1 huruf e "Setiap anggota Polri dilarang berprilaku kasar dan tidak patut. dan Pasal 15 huruf e "Setiap Anggota Polri dilarang bersikap, berucap dan bertindak sewenang-wenang.

3. Kapolres Kab. Bima harus di copot dan mendapatkan saksi pidana.

Di sisi lain ketika Anggota Polri melakukan tindakan yang melawan hukum serta telah di jatuhkan hukuman disiplin atau kode etik kepolisian maka dalam hal ini tidak mengugurkan sanksi pidana. Sanksi kedisplinan tetap berlaku begitu juga sebaliknya sanksi pidana tak bisa juga di hilangkan atau di gugurkan.

Sebagaimana yang tertuang Pasal 12 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian juncto Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian menyatakan "penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana". 

Lebih lanjut dalam di atur dalam Pasal 170 Ayat 2 Angka 2 KUHP "Siapa pun yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang dihukum dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh"

Di sisi lain pelaku Aksi peringatan jalan (Demonstrasi) yang membawa tuntutan Donggo Soromandi telah dipenjarakan, telah mendapatkan sanksi pidana atas pelanggarannya. 18 Aktifis telah terkurung dengan waktu yang beragam dengan penjara paling lama 4 bulan 20 hari. 

Sebagai instansi penegak hukum yang telah gamblang melanggar konstitusi, apalagi kejahatan yang di lakukan oleh Kapolres kab. Bima dikategori kejahatan luar biasa bagaimana tidak pelanggaran HAM di lakukan dengan sengaja. Akan kah kita bermimpi ada keadilan, menaruh harapan kezoliman akan di berantas oleh Polri di Kab. Bima Tampa pandang bulu, instansi, golongan dan status sosial atau sebaliknya hukum berlaku tajam ke bawah tumpul ke atas.

Saya juga menaruh harapan besar Kapolri dan Divisi Propam bisa segara adili, copot bahkan penjarakan Kapolres Kab. Bima sebagaimana bunyi tinta hitam di kertas putih (UU) yang di buat oleh negara serta intra instansi Kepolisian. Jikalau instansi Kepolisian tidak memberlakukan sama terhadap subjek pelanggar hukum maka sangat betul instansi Kepolisian tidak dapat dipercaya idealnya penegakan hukum yang diamanahkan oleh konstitusi. 

           Penulis: Afrizal

Load disqus comments

0 comments