Foto : Dr. Alfisahrin, M.Si |
Opini Dr. Alfisahrin, M.Si
Mataram-NTB, Media Dinamika Global.Id._ Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan mengadakan perhelatan akbar yakni pemilu serentak untuk memilih anggota legislatif, Kepala Daerah dan Presiden. Ada 17 partai politik menjadi peserta pemilu 2024 dan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan wakil presiden yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Bangsa dan rakyat Indonesia telah menyelenggarakan pemilu kurang lebh 12 kali sejak pemilu pertama tahun 1955.
Pertanyaan filosofis dan kritis publik wajib diajukan di tengah sengitnya pertarungan politik ketiga Paslon presiden. Sudahkah dari pemilu ke pemilu selama ini terselenggara dengan jujur, akuntabel dan kredible tanpa manipulasi, kecurangan dan konspirasi. Skandal pemilu di negara kita bukan cerita kosong tapi nyata adanya. Penggelembungan suara, data ganda dan penyelenggara tidak netral setiap pemilu marak terdengar di seantaro negeri. Tapi sudahlah itu satu soal lain dan menjadi tanggungjawab kita untuk terus konsisten mengawasi jalanya pemilu. Tapi jujur saya bertanya, apa benar pemilu memberikan perubahan nyata bagi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Takutnya biaya, logistik, sosialisasi, kampanye pemilu yang menyedot anggaran negara yang besar hanya menjadi ornamen, fasilitas, dan aksesoris demokrasi prosedural bukan orkestrasi memajukan kesejahteraan umum publik melalui pemilu.
Satu hal yang saya catat dan amati bahwa pemilu hanya melahirkan kelas politik, ekonomi dan penguasa baru. Karena yang tampak dan nyata berubah dari ekses pemilu hanya nasib peserta pemilu yakni oknum ketua partai, anggota DPR dan bupati_ walikota yang makin lebih kaya, lebih sejahtera, lebih Hedon dan berkelas bukan rakyat yang memilih dan mereka jual nama dan kemalangan nasib mereka di setiap pemilu.
Kalau benar. Pemilu dapat mengubah nasib publik. Adakah perubahan konkrit yang terjadi dari pemilu . apa saja yang telah dicapai dari hasil pemilu, kebijakan strategis apa dan sejauhmana gagasan-gagasan bombastis para calon presiden, anggota DPR dan DPD di tingkat pusat hingga daerah yang dijanjikan dalam pemilu terimplementasi dan ukuran-ukurannya tercapai dan dirasakan langsung oleh masyaraka di lapisan akar rumput grass root.
Pemilu dalam sebuah negara demokrasi merupakan proses fundamental untuk menggilirkan kekuasaan agar terpilih pemimpin baru yang memiliki legitimasi kuat, visioner, progresif dan transformatif. Sirkulasi elite yang berjalan baik melalui mekanisme pemilu selain mematangkan demokrasi juga memapankan posisi politik publik untuk berpartisipasi ikut aktif mengontrol jalannya kekuasaan negara.
Oleh karena itu, Pemilu tidak boleh dipandang remeh sekedar sebagai penggugur kewajiban warga negara dan ritus demokrasi biasa melainkan paradigmanya harus digeser sebagai sebuah proses istimewa yang krusial untuk menentukan arah dan laju orbit kemajuan bangsa. Pemimpin yang terpilih nantinya terutama presiden dalam pemilu, sejak 100 hari dilantik nantinya harus memiliki target-target konkrit yang indikator dan instrumen keberhasilan kebijakannya dapat diukur luas publik.
Presiden baru harus memiliki kapasitas untuk memformulasi rumusan kebijakan yang lebih strategis dan efisien dari presiden sebelumnya. Kebijakan yang presisi lebih dibutuhkan dibandingkan dengan gagasan dan ide-ide retoris untuk untuk enyahkan segala persoalan pelik bangsa. Mulai dari pertumbuhan ekonomi yang melambat 10 tahun terakhir, pengelolaan birokrasi buruk, angka pengangguran tinggi, korupsi yang menggurita, supremasi hukum yang kacau, separatisme kronis di Papua, penguasaan iptek rendah, mutu Pendidikan yang rendah, kemiskinan akut di kalangan petani, nelayan dan buruh.
Presiden baru nantinya harus punya jawaban taktis dan solusi praktis untuk mengatasi akumulasi masalah di atas yang terkesan dipeti es kan dari sejak presiden era orde lama, orde baru hingga orde reformasi gagal diselesaikan.
Publik rindu ingin melihat Indonesia benar-benar menjadi negara maju dan kuat di Asia, kita malu membandingkan Indonesia dengan negara-negara kecil seperti tetangga Singapura, Malaysia, Thailand, Phlipina yang maju di hampir semua bidang seperti ekonomi, pendidikan, teknologi penegakan hukum, dan memiliki daya saing global. Pemilu sebagai mekanisme penggantian kekuasaan konstitusional dan presiden baru yang terpilih sebagai outcome dari proses politik dan demokrasi harus memberikan keyakinan bahwa pergantian rezim adalah momentum penentuan arah baru perubahan dan kemajuan bangsa.
Oleh karena itu, presiden baru nanti yang terpilih. Apakah dari paslon nomor 1, 2 dan 3. Mengutip Acemoglu dan Robinson harus memiliki jawaban, setidaknya dugaan, terhadap pertanyaan ini: “Mengapa terdapat negara yang makmur dan negara yang miskin? Apa yang menyebabkan sebuah negara dapat keluar dari kubangan kemiskinan dan yang lain masih terperangkap dalam lumpur kemiskinan.
Jawaban bagi pertanyaan di atas merupakan entry point bahkan mukjizat yang selalu dicari oleh ilmuwan sosial baik ekonom, sosiolog, maupun ilmuwan politik. Setidaknya terdapat empat argumen dominan yang dapat menjelaskan pertanyaan di atas. Yang pertama adalah argumen geografi.
Menurut argumen ini, bahwa perbedaan besar antara negara kaya dan miskin diciptakan oleh perbedaan geografis. Argumen ini pertama kali dicetuskan oleh filsuf Perancis Montesquieu yang menyatakan bahwa orang-orang di iklim tropis cenderung malas dan kurang memiliki rasa ingin tahu. mereka tidak bekerja keras dan tidak inovatif, dan ini adalah alasan mengapa mereka miskin. Tak hanya sampai disitu, Montesquieu mencoba menjelaskan fenomena institusi politik dengan melihat faktor geografis dengan menyatakan orang yang malas cenderung dikuasai oleh para penguasa otoriter.
Tidak heran demokrasi susah bertumbuh kembang di daerah tropis. Varian termutakhir dari teori ini dicetuskan oleh Jared Diamond. Argument modern dari hipotesa geografi mengatakan bahwa penyakit tropis, khususnya malaria, memiliki konsekuensi yang sangat merugikan bagi kesehatan dan karena itu menurunkan produktivitas tenaga kerja. Tak heran bila tempat-tempat yang beriklim sejuk memiliki keuntungan relatif atas daerah-daerah tropis. Selain argumen geografi, argumen budaya juga menjadi salah satu jawaban dominan bagi pertanyaan besar di atas. Secara umum argumen budaya menyatakan bahwa atribut budaya tertentu seperti etika, halangan budaya, dan agama menjadi faktor penyebab bagi kurang produktifnya sebuah masyarakat.
Salah satu pencetus argumen ini adalah Max Weber. Max Weber dalam bukunya Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism menyatakan bahwa etika protestan adalah salah satu faktor terpenting bagi munculnya kapitalisme.
Selain faktor budaya, salah satu argumen dominan dalam menjelaskan ketimpangan kemakmuran adalah argumen “ignorance” dimana ketidaksetaraan dunia di sebabkan oleh ketidakmampuan para pemimpin untuk membuat negara-negara miskin menjadi kaya.
Argumen ini menyatakan bahwa negara-negara miskin menjadi miskin karena mereka memiliki banyak kegagalan dalam mengatur negara mereka. Dengan kata lain, negara-negara kaya menjadi kaya karena mereka dianugerahi pemimpin yang tahu menyelesaikan masalah sedangkan negara-negara miskin tetap miskin karena mereka dipimpin oleh orang-orang yang tidak tahu cara menyelesaikan masalah. Meskipun argumen-argumen di atas dapat memberikan eksplanasi terhadap ketimpangan kesejahteraan, namun keseluruhan argumen di atas memiliki cela dalam argumennya. Argumen geografi tidak mampu menjelaskan mengapa Singapura yang berada di ilklim tropis lebih makmur ketimbang Kazakhstan yang berada di iklim sejuk.
Argumen budaya juga tidak mampu menjelaskan mengapa dua Korea (Korea Selatan dan Korea Utara) yang memiliki budaya yang sama memiliki kondisi kemakmuran yang jauh berbeda. Begitu juga argument ignorance yang sangat terpaku terhadap analisa individual pemimpin masing-masing negara.
Acemoglu dan Robinson menyatakan alasan sebenarnya di balik perangkap kemiskinan terletak pada peran lembaga-lembaga politik dan ekonomi. Secara sederhana, Acemoglu dan Robinson membagi institusi politik dan institusi ekonomi ke dalam dua bentuk: (1) institusi politik dan ekonomi yang inklusif dan (2) institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif. Mereka berpendapat bahwa hanya dalam suatu sistem politik yang inklusif adalah mungkin bagi negara-negara untuk mencapai kemakmuran. Negara dengan institusi-institusi politik dan ekonomi ekstraktif cenderung miskin, sedangkan negara-negara dengan institusi politik dan ekonomi yang inklusif cenderung kaya.
Institusi politik yang inklusif didefinisikan sebagai sebuah institusi yang tidak hanya menguntungkan segelintir elit yang berkuasa namun sebuah institusi yang dimana masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik. Dengan kata lain, institusi politik yang dapat menciptakan kemakmuran adalah institusi politik yang bersifat plural. Tidak hanya akses politik yang mudah, institusi politik yang inklusif ditandai dengan adanya batasan terhadap elite penguasa melalui mekanisme checks and balances, serta adanya rule of law yang melindungi segenap warga negara. Institusi politik yang inklusif, menurut Acemoglu dan Robinson akan menciptakan institusi ekonomi yang inklusif pula.
Institusi ekonomi yang inklusif ini ditandai dengan adanya jaminan akan hak milik dan patent, kemudahan berusaha dan akses terhadap pasar yang terbuka serta adanya dukungan negara untuk memberikan akses yang mudah terhadap pendidikan dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi.
Dengan kata lain, politik dan bagaimana elit penguasa mengorganisir institusi politik dan ekonomi adalah hal yang utama dalam menentukan apakah sebuah bangsa menjadi lebih makmur atau tidak. Skenario sebaliknya akan terjadi dalam institusi politik ekstraktif di mana kekayaan akan diakumulasikan hanya untuk elit penguasa yang kecil.
Institusi politik yang ekstraktif ditandai dengan terkonsentrasinya kekuasaan politik di tangan segelintir orang tanpa adanya checks and balances, serta lemahnya rule of law. Institusi politik ekstraktif akan menghadirkan institusi ekonomi yang ekstraktif pula dimana segala sumber daya yang ada digunakan untuk kepentingan elit penguasa. Institusi ekonomi yang ekstraktif ditandai dengan lemahnya proteksi terhadap hak milik, adanya entry barrier terhadap aktor pasar yang menciptakan level of playing field berbeda bagi setiap aktor, serta adanya hambatan yang mencegah fungsi pasar berjalan dengan sempurna.
Untuk mendukung argumen mereka, Acemoglu dan Robinson menyuguhkan berbagai macam ilustrasi dari sejarah berbagai macam bangsa-bangsa di dunia. Mereka mencontohkan kolonialisasi Eropa atas Amerika Utara dan Amerika Latin yang menghasilkan dua trajektori kemakmuran yang berbeda. Amerika Utara lebih makmur ketimbang Amerika Selatan. Jawaban dari ketimpangan ini adalah institusi yang dibangun oleh para pendatang Eropa di benua Amerika. Tatkala para penakluk Spanyol membangun koloni di Amerika Latin, mereka membangun institusi politik yang ekstraktif dimana para elit penakluk Spanyol berada pada posisi penguasa dan para penduduk pribumi sebagai budak yang melayani kelas penguasa. Institusi ekonomi yang dibangun pun adalah institusi yang ekstraktif dimana sumber daya alam digunakan untuk kepentingan elit penguasa.
Hal ini berbeda dengan institusi yang dibangun di Amerika Utara yang lebih inklusif akibat ketidakmampuan orang Eropa untuk menundukkan kaum Indian di Amerika Utara dan sedikitnya sumber daya alam yang ditemukan di wilayah tersebut.
Bila institusi politik dan ekonomi yang inklusif dapat menciptakan kemakmuran, mengapa hanya sedikit bangsa yang memilih membangun institusi ini? Menurut Acemoglu dan Robinson, perubahan institusi dari yang bersifat ekstraktif menuju inklusif merupakan sebuah proses perubahan kecil yang terus menerus dan bersifat endegenous. Inggris merupakan contoh nyata bagaimana sebuah bangsa mampu melakukan pergeseran institusi dari ekstraktif menuju inklusif yang diawali dengan keinginan masyarakat akan proteksi hak milik yang lebih dan partisipasi politik.
Munculnya Magna Charta yang mengikat Raja untuk tidak sewenang-wenang terhadap para tuan tanah di bawahnya serta Glorious Revolution dimana peran raja tidak lagi absolut yang ditandai dengan kuatnya peran parlemen adalah institutional drift atau pergeseran institusi yang membuat Inggris memiliki institusi yang inklusif.
Institutional drift tentu tidak disukai oleh elite penguasa karena institusi yang inklusif selalu menghasilkan apa yang disebut “creative destruction”.
kata lain dari competition yang memungkinkan adanya mekanisme distribusi kekayaan serta yang paling penting distribusi kekuasaan di masyarakat. Inilah alasan mengapa Inggris dan bukan bangsa lain yang memulai revolusi industri yang membawa dunia menuju peradaban modern.
Lantas bagaimana sebuah bangsa mampu keluar dari institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif menuju institusi politik dan ekonomi yang inklusif? Untuk menjawab pertanyaan ini, banyak ahli percaya bahwa peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat acak dapat berguna dalam memahami hasil saat ini. Mereka menyebut peristiwa acak ini sebagai critical juncture atau titik-titik kritis sejarah yang mampu mengeksploitasi perbedaan institusi yang kecil menjadi sebuah perbedaan besar. Critical juncture inilah yang menentukan apakah sebuah bangsa mengambil jalur menuju institusi yang inklusif atau menuju pada institusi yang ekstraktif.
Critical juncture ini merupakan variable di dalam sejarah yang tidak dapat diprediksi.
Salah satu contoh critical juncture dalam sejarah peradaban China adalah tatkala Kaisar China melarang seluruh rakyatnya untuk berlayar untuk melakukan perdagangan. Pelayaran oleh Laksamana Zeng He merupakan pelayaran terakhir yang diperbolehkan oleh Kaisar Cina. Setelah itu, Hongwu, Kaisar era Ming mengeksekusi siapa saja yang mencoba melakukan pelayaran perdagangan. Hal ini disebabkan karena Kaisar China takut akan karaktercreative destruction dari perdagangan internasional yang akan berpotensi mendestabilisasi sistem kekaisaran dengan munculnya kelas baru bernama pedagang yang semakin kaya.
Hal yang sama terjadi di kekaisaran Utsmani yang melarang masuknya mesin cetak pada abad ke-15. Padahal melalui mesin cetak, Eropa telah menikmati masifnya peredaran teknologi dengan adanya mesin cetak. Namun, Kekaisaran Utsmani baru membolehkan mesin cetak untuk masuk ke wilayahnya 300 tahun setelah Eropa mengambil manfaat dari teknologi baru tersebut. Alasan Sultan untuk tidak menerima mesin cetak karena ketakutan akan creative destruction yang dihasilkan oleh teknologi baru ini yang juga dapat mendestabilisasi otoritas sultan.
Kepemimpinan masa depan Indonesia saya kira tidak lagi hanya mengandalakan modal popularitas belaka tetapi harus ditopang oleh kapasitas raksasa yang besar untuk menjadi kekuatan pengungkit (leverange) yang mengangkat dan menarik lokomotif besar bangsa dengan sejumlah maslah utamanya.
Kelemahan besar kita selama ini selalu gegabah(reckless), buru-buru dan cepat memilih pemimpin nasional dan regional hanya karena simbol-simbol kultural dan artifsial yang dangkal seperti pandai bicara, merakyat, sederhana tetapi mengabaikan kemampuan, kapasitas, kompetensi, kejujuran, amanah dan keahliannya dalam mengelola otoritas kekuasaan yang diberikan. Kita butuh pemimpin yang kompleks dan komplit memiliki integritas keilmuan tinggi baik konsep dan praksis. Sehinga menjadi modal kepemimpinan, kapasitasnya itu diperlukan agar adaptif menggunakan metode, teori dan pendekatan ilmu-ilmu kepemimpinan baru yang lebih modern, inovatif dan mutakhir. Dunia global yang terus berubah menghadirkan banyak sekali implikasi dan tantangan baru kepemimpinan seperti digitalisasi birokrasi, e.commerce, artifisial intelegence, internet of thing, digital investment, crypto currency dan blockchain. Adalah realitas dunia bangsa modern yang memerlukan adaptasi dan penguasaan dari presiden baru kita.
Filosofi penting dari uraian ini, yakni memberikan sebuah pelajaran penting bagi para pengambil kebijakan tentang pentingnya sebuah institusi politik serta ekonomi yang inklusif( terbuka) dan kreatif untuk menciptakan akumulasi kekayaan yang terdistribusi dengan baik ke seluruh masyarakat.
Penulis : Dr. Alfisahrin, M.Si
Editor : Surya Ghempar
0 comments