Kabupaten Bima-NTB, Media Dinamika Global.Id._ Bangunan Uma Lengge merupakan warisan leluhur suku Mbojo-Bima terdahulu, sekarang tampak sepi pengunjung, dibandingkan ketika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno, meresmikan Komplek Rumah Adat "Uma Lengge" bertempat di Desa Maria, Kabupaten Bima-NTB."Uma Lengge" merupakan salah Wisata Budaya Bima (Suku Mbojo) Daerah Bima tiga tahun silam.
Hasil penelitian langsung, saat tiba di tempat bersejarah itu, terlihat bagunan tradisional suku Mbojo kini sebagian sudah tidak terawat, tiga bangunan serta hiasan tanaman bunga di depan halaman, menutupi sebagian "Uma Lengge" yang telah miring dan rusak.
Terlihat tampak seseorang pria yang duduk termenung di tiang penyangga "Uma Lengge", menunggu kedatangan para pengunjung yang ingin mengetahui apapun tentang ditus/Histori "Uma Lengge".
Pria tersebut bernama Indra, 41 tahun, merupakan warga asli Desa setempat sekaligus penjaga "Uma Lengge".
Saat ditemui, Indra menceritakan, Uma Lengge ini di bangun secara tradisional oleh leluhur kami dulu, sampai sekarang kami jaga, walaupun sebagian tidak mampu kami perbaiki karena kekurangan anggaran dan dukungan semua pihak, terutama dari Pemerintah Daerah sampai pemerintah Desa.
"Sejarah dan kondisi Uma Lengge sekarang, Indra berharap warisan nenek moyangnya dan leluhur terdahulu tetap dijaga," ucap Indra. Minggu (14/4/2024).
Lanjut Indra, "Uma Lengge" memiliki 4 (Empat) Ri’i Uma atau disebut empa tiang penyangga persegi berdiameter sekitar 30 Cm (Centi Meter), beratap ilalang, dengan dasar pondasi yaitu ngapi atau batu yang sudah dibacakan mantra oleh dukun, sehingga tikus tidak akan sanggup menjangkau hasil pertanian yang ada di ruang penampungan. Setiap tiang diberi wole atau pasak, yang mengunci "Uma Lengge" agar tahan dari segala cuaca. Terlihat dari warna kayunya tidak pernah disentuh keasliannya, sehingga terdapat Empat "Uma Lengge" yang rusak parah dan tidak lagi berfungsi.
“Jumlah "Uma Lengge" dan Jompa secara keseluruhan awalnya ada 101 bangunan, akan tetapi ada empat yang rusak parah, jadi sisa 97 bangunan, saya akan usaha untuk jaga, karena tugas ini adalah amanat dari Almarhum kakek saya yang bernama "Hasan Abubakar" merupakan Ketua adat disini,” tutur Pria Kelahiran Wawo ini.
Bangunan Uma Lengge, terdiri dari dua lantai utama, bagian bawah terdapat muna atau alat untuk menenun, sebagai aktifitas yang wajib dilakukan oleh kaum perempuan suku Mbojo, serta difungsikan untuk menyambut tamu. Berdasarkan ketentuan adat, setiap wanita yang memasuki usia remaja harus terampil melakukan muna ro medi, muna ro medi merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh kaum perempuan, guna meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga. Seluruh wanita dilatih untuk terampil dan berjiwa seni ma loa ro tingi dalam menenun. Kemudian kedua, bagian atas "Uma Lengge" digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian yang beratapkan ilalang dan bambu, sebagai kerangka agar atap tahan terhadap segala cuaca.
"Ia, Indra menyayangkan tidak adanya perhatian dari pihak pemerintah untuk membantu melestarikan Budaya asli Mbojo "Uma Lengge", padahal sistem ketahanan pangan dalam struktur bangunan "Uma Lengge" menjadi salah satu cara untuk melawan krisis pangan di masa depan," sesal Indra.
Sambung Indra, "Uma Lengge" ini milik warga asli Desa setempat, setiap keluarga memiliki satu Uma Lengge, sekarang banyak atap ilalang Uma Lengge dan Jompa diganti seng, karena ilalang sulit didapat, dan juga kurangnya perhatian dari pemerintah Desa setempat untuk biaya operasional dan memfasilitasi kebutuhan Uma Lengge. Kebiasaan masyarakat Wawo Maria menyimpan hasil pertanian di ruang atas Uma Lengge, ketika Indra membuka pintu ruangan atas berdiameter sekitar satu kali setengah meter, tampak hasil pertanian seperti padi, jagung, serta sorgum tersusun rapi dalam setiap ikatan.
"Kemudian ikatan-ikatan itu, digantung pada bilah-bilah bambu yang disusun sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya. Sembari mengingat perjuangan kakeknya dulu dalam merawat kelestarian Uma Lengge," jelas Indra.
Tak hanya itu, Indra juga menegaskan bahwa Uma Lengge tidak terlepas dari nilai-nilai keistimewaan yang sudah dipercayai sejak zaman nenek moyang suku Mbojo dulu. Menariknya, di ruangan atap Uma Lengge hanya boleh ibu-ibu yang bisa naik, karena kepercayaan yang dianut masyarakat setempat, hanya kaum perempuan yang tau tentang pasokan makanan keluarga.
“Kakek saya Alm. Hasan Abubakar pernah bilang, kalau "Uma Lengge" penuh dengan nilai budaya yang sudah diwariskan dari dulu sampai sekarang, mulai nilai gotong royong, nilai musyarawarah, mufakat, tetap tingkatkan silaturahmi, dan nilai saling tolong-menolong. Seiring dengan perkembangan zaman, cara penyimpanan padi sudah tidak lagi dalam bentuk ikatan-ikatan yang tersusun rapi, melainkan gabah yang dikarungkan, sehingga masyarakat agak kerepotan untuk memindahkan padi ke atas ruangan penyimpanan Uma Lengge," tegasnya.
Sementara, Sumardin, 36 tahun, warga asli Desa Wawo Maria sedang mengecek hasil pertaniannya, mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat saja yang menggunakan "Uma Lengge" dan "Jompa" sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian, karena saling memiliki kepercayaan tersendiri. “Saya salah satu Pemilik Uma Lengge dan Jompa yang diwarisi kakek kami dulu secara turun-temurun, walaupun sudah dijadikan tempat wisata, tetapi kami tetap melaksanakan upacara Ampa Fare yang telah diwariskan, disini cuman sebagian masyarakat saja yang pakai Uma Lengge," ucap Sumardi.
Disisi lain, dengan ada perkembangan zaman, sebagian masyarakat juga tidak menggunakan Uma Lengge karena mereka pendatang di Desa ini," pendatang di desa ini. Padahal ketika musim paceklik, sebagian masyarakat sangat kesulitan mendapatkan cadangan makanan, karena tidak menyimpan cadangan pangan dari hasil pertanian sebelumnya. Sembari membersihkan halaman Uma Lengge dengan sabit dan Tembe Nggoli, sarung tenun khas suku Mbojo yang dipakai.
"Sumardin mengakui tidak kesusahan saat musim paceklik tiba, apalagi harga beras di pasaran semakin melonjak, saya beruntung tetap melestarikan tradisi Ampa Fare ini, warga lain ngeluh beli beras, saya tak pernah risih jika sewaktu-waktu bahan pangan naik,” tuturnya.
Proses penataan dan penyimpanan padi pada Uma Lengge, dilakukan dengan cara gotong royong. Dari 97 Uma Lengge maupun Jompa yang ada, hanya 95 bangunan yang digunakan oleh warga untuk menyimpan hasil pertaniannya, tiga diantaranya digunakan sebagai tempat berkunjung untuk para wisatawan. “para warga disini biasanya panen serentak, sehari setelah itu, kita adakan upacara Ampa Fare sebagai bentuk rasa syukur kami atas hasil pertanian yang melimpah,” terang Sumardin.
Kembali indra mengatakan, Konsep Uma Lengge sebagai karya arsitektur yang mengandung banyak nilai budaya, kini banyak digunakan sebagai bentuk konstruksi bangunan pemerintahan, juga menjadi ikon pariwisata. Hanya saja tidak diperhatikan baik oleh pemerintah Desa dalam merawatnya. Uma Lengge juga sebagai konsep kearifan lokal, ketahanan pangan, masih belum bisa ditransofmasikan menjadi program-program pemerintah untuk pemberdayaan petani, apalagi Kabupaten Bima menjadi daerah yang menyumbang pasokan pangan terbesar.
"Sekarang Uma Lengge hanya dijadikan sebagai lambang saja," jelas Indra.
Sambung Indra, Festival Uma Lengge kerap diadakan tiap tahunnya, Ula Lengge kian mulai tidak diperhatikan, padahal banyak solusi yang dapat diterapkan dalam menghadapi tantangan zaman, melalui nilai budaya yang terkandung dalam Uma Lengge sendiri.
“Festival Uma Lengge tetap kami adakan untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara, dalam festival juga menampilkan berbagai tarian tradisional suku Mbojo, yaitu Mpa'a Manca, Adu Kepala, Buja Kadanda, dan Kareku Kandei, serta setiap perempuan yang hadir menggunakan Rimpu, yaitu kerudung khas suku Mbojo,” pungkas Indra.
Hasil pantauan sangat disayangkan, Uma Lengge kurang perhatian dan partisipasi dari unsur pimpinan daerah sampai ke pemerintah pemerintah Desa dalam melestariakan asli wisata Uma Lengge, kita melihat seksama bahwa, Uma Lengge terus kita lestarikan demi ketahanan pangan, menjaga dan merawat asli budaya Bima, bukan hanya sekedar tempat wisata situs bersejarah, dan menjadi aicon suku Mbojo.
Penulis : Dian Ferdinawan
Editor : Surya Ghempar.