Bima. Media Dinamika Global.id. Perputaran zaman yang begitu cepat serta peningkatan kompleksitas masalah global membutuhkan kualitas kepemimpinan yang kritis dan tajam. Pemimpin yang mampu memahami dinamika sosial dengan baik sangat diperlukan, khususnya dalam menanggapi kebijakan pemerintah Indonesia yang semakin ambisius. Dalam konteks ini, peran seorang pemimpin menjadi krusial.
Mera Maron adalah identitas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sebuah organisasi otonom di bawah naungan Muhammadiyah, yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar dan tertua di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, dan meskipun menghadapi berbagai tantangan pada masa awal pergerakannya, organisasi ini berhasil bertahan hingga kini, mencatatkan banyak kontribusi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. IMM sendiri lahir dari gagasan tokoh-tokoh seperti Djasman Al-Kindi, Soedibjo Markus, M. Amin Rais, Rosyad Saleh, dan Yahya Muhaimin pada 14 Maret 1964.
Sejarah dan Peran IMM
Pembentukan IMM melalui proses panjang, termasuk menghadapi bentrokan internal dan eksternal. Namun, dengan kegigihan Djasman Al-Kindi dan rekan-rekannya, IMM resmi berdiri pada 14 Maret 1964. K.H. Ahmad Baidowi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, merestui pendirian IMM dengan menunjuk Mohammad Djazman Al-Kindi sebagai Ketua Umum pada Musyawarah Nasional pertama IMM, yang dilaksanakan pada 1-5 Mei 1965 di Surakarta. Musyawarah tersebut menghasilkan Deklarasi Kota Barat (Dekobar), yang kemudian mendapat restu langsung dari Presiden Soekarno pada 16 Februari 1966 di Istana Negara.
Dekobar melahirkan enam penegasan IMM yang menjadi dasar pergerakan organisasi:
(1) IMM adalah gerakan mahasiswa Islam. (2) Kepribadian Muhammadiyah menjadi landasan perjuangan IMM. (3) IMM berfungsi sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah. (4) IMM merupakan organisasi yang sah, menghormati hukum, undang-undang, dan falsafah negara. (5) Ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah. (6) Amal IMM dilakukan lillahi ta'ala untuk kepentingan rakyat.
Dari enam penegasan ini, lahirlah Tri Kompetensi Dasar IMM, yakni intelektualitas, humanitas, dan religiusitas, yang menjadi identitas dan pedoman kader dalam menjalankan roda organisasi.
Tantangan dan Peran IMM di Era Digitalisasi
Pada tahun 2025, IMM akan berusia 61 tahun, setara dengan 0,61 abad. Usia ini menunjukkan kematangan organisasi, tetapi juga menjadi tantangan untuk terus relevan di tengah pergeseran zaman. Kepemimpinan IMM harus menjadi role model peradaban baru yang berorientasi pada tujuan utama, yaitu mencetak akademisi Islam berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
Sayangnya, tantangan internal masih sering muncul, seperti minimnya penguatan spiritual di kalangan kader, khususnya dalam pembacaan Al-Qur'an. Hal ini menjadi perhatian serius karena dapat memengaruhi generasi IMM selanjutnya. Sebagai organisasi Islam, IMM harus terus berpegang pada nilai-nilai Al-Qur'an dan Sunnah, sebagaimana diajarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Islam tidak hanya tentang ritual, tetapi juga mencakup aspek sosial yang luas.
Di era digitalisasi, pemimpin IMM harus mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi yang masif. Pemimpin diharapkan memiliki kecerdasan intelektual (IQ) dan emosional (EQ) yang tinggi. Jack Ma, seorang tokoh asal Tiongkok, menekankan pentingnya EQ bagi pemimpin era digital. Pemimpin harus memahami kebutuhan manusia di balik teknologi dan mampu menginspirasi dengan visi yang kuat.
Peter Drucker dalam karya-karyanya, termasuk The Effective Executive, mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat, sedangkan keberhasilan organisasi bergantung pada kemampuan pemimpin untuk tetap fokus pada nilai inti dan tujuan strategis. IMM membutuhkan pemimpin yang adil, bijaksana, dan mampu merangkul seluruh anggota, sebagaimana yang diajarkan dalam Surah Al-Ma'idah (5:8):
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya."
Tanggung Jawab Pemimpin IMM
Tanggung jawab seorang pemimpin sangatlah penting, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:
"Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks IMM, pemimpin harus berlandaskan Tri Kompetensi Dasar: intelektualitas, humanitas, dan religiusitas. Pemimpin IMM diharapkan menjadi ulul albab, yaitu individu yang cerdas secara intelektual, berakhlak mulia, dan peduli terhadap masyarakat.
Dengan demikian, IMM harus memastikan regenerasi kepemimpinan yang berkualitas melalui proses musyawarah yang adil dan transparan, baik di tingkat komisariat maupun cabang. Penilaian terhadap calon pemimpin tidak hanya berdasarkan kemampuan berargumentasi, tetapi juga rekam jejak dalam menjalankan nilai-nilai IMM dan Muhammadiyah.
Oleh karena itu IMM sebagai organisasi Islam harus terus bergerak maju, menghadapi tantangan era digitalisasi dengan semangat dan visi yang kuat. Pemimpin IMM diharapkan menjadi figur yang inspiratif, mampu menjaga nilai-nilai keislaman, dan membawa organisasi ke arah yang lebih baik demi kemaslahatan umat. Dengan semangat Mera Maron, IMM menuju 2026 harus menjadi simbol peradaban baru yang berlandaskan pada intelektualitas, humanitas, dan religiusitas. (Riski Ikra/Tim)